Abu Din—allahyarham—merupakan salah satu pria vintage berperilaku udik di sebuah gampong di Aceh. Dia terkenal sangat pemberani. Saat itu, era 1970-an dukun masih banyak yang aktif di Aceh. baik tua maupun muda. Salah satu hobi dukun yaitu membangkitkan arwah yang mati karena melahirkan, atau arwah-arwah lain yang matinya berdarah.
Kala itu, banyak juga hantu yang disebut burong punjot, burong tuleung, hantu kojet, dan lain-lain. Cerita-cerita tentang hantu itu bercampur baur dengan kisah seram arwah perempuan yang bangkit dari kubur, demi menuntut balas atas peristiwa pemerkosaan yang dialaminya selama masih hidup.
Abu Din tinggal di sebuah rumah kecil berdinding tepas di sebuah dusun terpencil di bukit. Rumahnya terpaut jauh dengan permukiman terdekat. Jaraknya mencapai tiga kilometer dari permukiman terakhir.
Baca: Arwah Perempuan di Gudang Tua Aceh Tamiang
Pria gaek itu tinggal digubuk bersama dua istri dan dua anak. Kedua istrinya akur-akur saja meski ditempatkan di dalam rumah yang sama. Menurut cerita, Abu Din menempatkan mereka di kamar terpisah.
Saat ditanya oleh kolega mengapa ia menempatkan dua istrinya di rumah yang sama, Abu Din selalu punya jurus jitu memberikan jawaban. Bahwa di usianya yang telah mencapai kepala lima, tak mungkin lagi dapat memberikan keadilan dalam segala hal, bila istri-istrinya tinggal berjauhan.
Sehari-hari Abu Din sering menghabiskan waktunya di jambo madat, mengisap ganja dengan beberapa pemadat lainnya di tepi sungai. Istri-istrinya, dan dua anaknya, dikerahkan ke huma, bercocok tanam dari pagi hingga sore.
Dia seperti umumnya lelaki kampung kala itu. Hidup seenaknya, bekerja kapan ia suka, dan lebih menempatkan diri sebagai raja, ketimbang kepala keluarga.
Kedua istri dan anaknya, manut-manut saja. tidak ada yang protes. Menurut cerita, mereka takut durhaka. Tapi menurut sejumlah dukun, Abu Din menggunakan ilmu pengasih.
Cukup cerita tentang latar belakang pria gaek itu. Lelaki yang setia memelihara janggut dan cambang sejak berusia kepala empat, sehari-hari mengenakan kemeja lengan panjang warna putih. Warna kemejanya sejatinya bukan lagi putih, tapi sudah rada-dara cream. Saking tuanya.
Di memakai celana panjang yeye, dan di pinggangnya selalu dililitkan sarung bermotif kotak warna biru, dan telah juga lusuh.
Di kepala pria berambut ikal itu, selalu terpasang kopiah yang warna hitamnya kian tak tergambarkan.
Hal yang paling menarik dari dia, kemana-mana selalu mengunyah sirih. Bila sedang mabuk ganja, dia akan tidur dari pagi hingga pagi lagi di tepi sungai.
Dengan segala keunikan yang ada pada dirinya, Abu Din penganut Islam yang unik. Marah bila Islam dihina, tapi bila waktu salat tiba, dia selalu beralasan celananya kotor.
Meski pada masa itu, cerita hantu selalu menjadi topik utama di kampungnya. Dia tak sekalipun menaruh rasa takut. Padahal seringkali teman-teman di jambo madat menakut-takuti dirinya. Tapi dasar Abu Din, baginya hantu merupakan ilusi para pria berjiwa lemah. Siapa saja pria yang takut kepada hantu, dianggap olehnya sebagai lelaki lemah syahwat.
Pernah suatu ketika, korps burong tujoh yang legendaris, dibuat kocar-kacir olehnya di tengah malam buta.
Korps burong tujoh itu memang terkenal usil. Seringkali menakut-takuti warga dengan wajah-wajah mereka yang seram. Terbang ke sana kemari di dalam dusun kecil. Atau masuk ke rumah perempuan hamil tanpa permisi. Kemudian beramai-ramai menampakkan wajah angker ke perempuan hamil.
Target mereka hanya satu, bila perempuan hamil itu syok, dan kemudian meninggal dunia, arwah perempuan itu akan menjadi anggota baru. Selanjutnya mengulang aktivitas burong tujoh.
Malam itu, burong tujoh salah sasaran. Dikira Abu Din lelaki lemah syahwat. Mereka bertujuh kompak mengadang Abu Din yang sedang mendaki jalan menanjak, dalam perjalanan ke rumah sembari menuntun sepeda onthelnya.
Saat mereka menampakkan diri, Abu Din segera meletakkan sepedanya di tanah. Dia memungut segenggam pasir, dibacakan mantra anti hantu dari Gunong Goh. Setelah dia selesai membaca mantra, ditiupnya pasir digenggaman. Kemudian dipercikkan ke arah 7 hantu wanita yang sedang memasang wajah mengerikan.
Hantu-hantu perempuan itu menjerit kesakitan. Mereka meraung-raung sembari terbang ke berbagai penjuru mata angin.
“Ampun Abu Din, ampun Abu!” raung burong tujoh.
Suatu kali, Abu Din jatuh sakit. Dia sakit satu bulan. Anak dan istri-istrinya merawatnya silih berganti. Orang-orang di jambo madat kesepian tanpa kehadiran sang pria gaek. Demikian juga warkop kampung. Tanpa lelaki tua itu, kedai menjadi sepi.
Setelah sebulan penuh sakit, dia pun sembuh. Hal paling pertama yang ia rindui adalah jambo madat. Tengah malam, dia bangkit dari dipan kayu reot.
Dia bangun dan mengambil sepeda yang disandarkan di samping rumah. Dia mengayuh sepeda tua itu hingga mencapai ujung jalan kecil. Tatkala sampai ke simpang, dia turun. Jalan desa yang akan dilaluinya merupakan turunan yang cukup tajam.
Dia memperhatikan ke ujung turunan. Memastikan jalan dalam kondisi aman. Maklum, rem sepedanya kadang-kadang berulah.
Di kegelapan, sayup-sayup ia melihat sebuah tumpukan hitam di sisi kiri jalan. Ukurannya sangat besar. Dia menghela nafas.
“Dasar hantu tak Tahu diri. Dikiranya siapa aku ini. Kuhabisi kau malam ini,” kata Abu Din sembari menaiki sepedanya.
Dengan kekuatan penuh dia mengayuh sepeda di jalan menurun. Lajunya cukup kencang. Sepeda itu diarahkan ke tumpukan hitam di sisi kiri jalan.
Tiba-tiba dia terkejut, sesuatu yang besar itu hendak dia hindari. Tapi sudah terlambat. Dia menubruk tumpukan hitam besar itu sangat keras. Abu terpelanting ke belakang, sepedanya patah.
Dia terkapar ke badan jalan, darah muncrat ke kepala. Tiba-tiba di hadapannya muncul cahaya putih. Dia menghiba,”Ampun, ampun, jangan dulu….”
Abu Din mengembuskan nafas terakhir di tempat itu.
Tumpukan hitam yang ia kira hantu, ternyata double drum roller alias moto gileng milik Dinas Pekerjaan Umum, yang seminggu sebelumnya, mulai mengaspal jalan di tanjakan itu.
Dua malam setelah peristiwa itu, Abu Din datang ke jambo madat. Dia minta Karim Ija Andok menyiapkan sebatang candu untuk dirinya. Kali ini, seluruh penghuni jambo madat lari tunggang-langgang.