Solusi Masalah Pembangunan Damai Aceh Harus Lahir dari Aceh

Solusi Masalah Pembangunan Damai Aceh Harus Lahir dari Aceh
Coordinator for Research and Education for Peace at Universiti Sains Malaysia (REPUSM), Prof. Dr. Dr. Kamarulzaman Askandar. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Solusi masalah pembangunan damai Aceh harus lahir dari pihak-pihak yang langsung merasakan dampak konflik, bukan dari pihak luar.

Hal tersebut disampaikan Coordinator for Research and Education for Peace at Universiti Sains Malaysia (REPUSM), Prof. Dr. Dr. Kamarulzaman Askandar, pada diskusi refleksi dua dekade pembangunan damai Aceh yang diselenggarakan The Aceh Institute di Banda Aceh, Kamis malam (14/8/2025).

Menurutnya, dalam pendekatan conflict transformation dan transformative peace building, salah satu prinsip utama adalah penyelesaian masalah harus datang dari akar konflik, bukan dari pihak luar.

“Salah satu daripada aspek yang penting dalam konflik transformation peace building dan transformative peace building adalah solution must be from the soil of the conflict,” ujarnya.

Kamarulzaman yakin keberhasilan pembangunan damai di Aceh sangat bergantung pada kemampuan masyarakatnya sendiri untuk merumuskan dan mengimplementasikan solusi yang sesuai dengan realitas di lapangan.

Pihak luar, termasuk lembaga akademik, hanya berperan sebagai fasilitator yang menyediakan ruang, pengetahuan, dan dukungan bagi proses tersebut. Baginya, perdamaian yang lahir dari akar konflik memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dibandingkan solusi yang dipaksakan dari luar.

Kamarulzaman menegaskan peran pihak luar hanyalah menyediakan ruang dan peluang bagi masyarakat terdampak untuk berbicara, menyampaikan pandangan, serta mengembangkan inisiatif perdamaian. Sementara solusi masalah pembangunan damai Aceh lahir langsung dari masyarakat yang terdampak.

Melalui ruang tersebut, mahasiswa dan peneliti dapat melakukan riset yang hasilnya digunakan sebagai landasan advokasi perdamaian.

Baca juga:
Juha Apresiasi 20 Tahun Perdamaian Aceh

Ia memaparkan pendekatan conflict transformation melihat perlunya melakukan perubahan pada berbagai aspek yang berkaitan dengan konflik sebelum menuju perdamaian.

Ketika pendekatan ini digabungkan dengan peace building, lahirlah metode yang ia sebut sebagai transformative peace building. Dalam kerangka ini, proses perdamaian tidak hanya menargetkan penyelesaian isu, tetapi juga mengubah konteks, hubungan, struktur kelembagaan, aktor, hingga kelompok masyarakat yang terlibat.

Penelitian yang dilakukan di titik-titik konflik, kata Kamarulzaman, diarahkan untuk mengidentifikasi berbagai aspek yang perlu ditransformasi.

“Jadi, penelitian-penelitian yang ada pada titik itu menjurus kepada pelbagai aspek transformation yang boleh membawa kita kepada pembinaan perdamaian,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menekankan penelitian tentang perdamaian harus dilakukan dengan metodologi yang solid agar hasilnya tidak diragukan.
Penelitian itu harus disertai dengan reflection secara terus-menerus dalam kerangka action research.

Proses ini, katanya, melibatkan pengumpulan data, analisis, revisi konsep, dan uji penerapan di lapangan. Jika hasilnya belum memuaskan, penelitian harus diulang dengan menambahkan kerangka atau konsep baru sampai ditemukan pendekatan yang tepat.

Kamarulzaman yakin keberhasilan pembangunan damai di Aceh sangat bergantung pada kemampuan masyarakatnya sendiri untuk merumuskan dan mengimplementasikan solusi yang sesuai dengan realitas di lapangan.

Pihak luar, termasuk lembaga akademik, hanya berperan sebagai fasilitator yang menyediakan ruang, pengetahuan, dan dukungan bagi proses tersebut. Baginya, perdamaian yang lahir dari akar konflik memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dibandingkan solusi yang dipaksakan dari luar.

Artikel SebelumnyaPolisi Tahan 2 Pria yang Mengamuk di Perkim Aceh
Artikel SelanjutnyaKasus Dugaan Korupsi Dinkes Aceh Tengah Naik ke Penyidikan

1 COMMENT

  1. Ya betul, klo nggak ada niat berubah dari diri sendiri, masa mau berharap sama orang untuk berubah? tapi masalahnya, sama seperti pepatah ikan busuk dari kepala. klo di atas-atasnya nggak beres, susah ke bawah untuk beres. karena di bawah bukan pengambil keputusan. tapi ironi juga, karena yang di atas juga dipilih sama yang di bawah. sehingga yang beres di bawah perlu menggetok kepala orang-orang yang nggak beres di bawah agar yang beres di bawah bisa memilih orang yang beres untuk jadi di atas. masalahnya terkadang yang beres di bawah pun malas konflik sama yang nggak beres di bawah. jadi ya gitulah. atau ya banyak-banyak berdoa aja, minta diberi pengambil kebijakan yang beres, serta lingkungan2 yang beres juga. selain itu? berharap cepat kiamat aja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here