Orasi di IAI al-Aziziyah, Prof. Syamsul Rijal Bahas Paradigma Kemanusiaan

Syamsul Rijal paradigma kemanusiaan
Prof. Syamsul Rijal menyampaikan orasi ilmiah bertema paradigma kemanusiaan. Orasi ini disampaikan di Institut Agama Islam (IAI) al-Aziziyah, Samalanga, Bireuen, Kamis (9/11/2023). Foto: HO for Komparatif.Id.

Komparatif.ID, Bireuen—Guru Besar Ilmu Filsafat Islam Prof. Dr. Syamsul Rijal, menyampaikan orasi ilmiah di Institut Agama Islam (IAI) al-Aziziyah, dalam acara wisuda sarjana S1 angkatan ke XII Tahun Akademi 2023-2024.

Pada orasi ilmiah yang disampaikan di hadapan sivitas akademika IAI al-Aziziyah, dan Pemimpin Umum Mudi Mesra Teungku H. Hasanoel Basri alias Abu Mudi, Profesor Syamsul Rijal menyampaikan paper berjudul Paradigma Kemanusiaan; Tantangan Dinamika Sosio-Kultural Santri.

Dalam orasinya, Guru Besar Ilmu Filsafat Islam, yang bekerja di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, menyebutkan cara pandang setiap orang akan berjalan dinamis sesuai dengan muatan paradigmatik lingkungan yang dilalui. Paradigma kemanusiaan dalam diri seseorang akan dibentuk oleh dua hal. Internal (dari dalam diri), dan dari luar diri manusia (eksternal) yang kemudian menyatu membentuk cara pandang individu.

Baca: Syamsul Rijal, Profesor dari Kaki Gunung Leuser

Bila melihat substansi paradigma kemanusiaan, haruslah dikaitkan dengan acuan sosio-kultural yang mewarnai kehidupan manusia dan kemanusiaan.

Dalam kajian epistemologi, paradigma mengacu kepada teori yang ditulis oleh Thomas Kuhn, seorang fisikawan, filosof dan sejarawan Amerika Serikat. Ia menyebutkan sebagai disiplin  intelektual yang memiliki prinsip cara pandang  dan atau keyakinan yang mendasari seseorang melakukan segala tindakannya, gagasan paradigma merupakan peristiwa penting dalam bidang filsafat dan sains yang memicu perdebatan dan diskursus pengembangan ilmu.

Konsepsi paradigma menjadi prototype yang berkembang sejalan dengan masa yang dilalui, kemudian terjadi pergeseran nilai (shift-paradigm) karena adanya anomali yang bersifat dinamis dalam kehidupan.

Penyimpangan cara pandang ini pada kenyataannya menghadirkan diskursus berkepanjangan sehingga akan tampil komunitas riset yang melahirkan artikel yang mengetengahkan konsep dan teori baru dari adanya pergeseran sebuah paradigma. Obsesi ini pada gilirannya memunculkan apa yang disebutkan dengan paradigma baru.

“Sementara itu, terkait dengan kemanusiaan, merupakan sebuah entitas sikap universal yang melekat pada diri manusia, agar mereka establish serta memperlakukan manusia lainnya berdasarkan sikap yang manusiawi.

Quran memberikan gambaran spesifik bahwa penciptaan manusia adalah sebaik-baik ciptaan Allah dari makhluk yang lain. Filosof “kontroversial” Abu Hamid al-Ghazali, memberikan gambaran substansial dari eksistensi manusia.

Menurutnya  Ghazali, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasad (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Jasad manusia dapat bergerak dan merasa. Dimensi unsur ini berwatak kasar dan gelap.

Pada kesempatan itu, prof. Syamsul Rizal menyampaikan dimensi al-nafsi bukanlah sebuah kekuatan yang mendorong terhadap kebutuhan makanan oleh jasad. Bukan juga kekuatan yang mendorong syahwat dan emosi. Karena dorongan yang demikian sesungguhnya merupakan kategori roh hayawan dan tabhi’i.

Baca: Musibah di Tol Lampung, 1 Dosen UBBG Meninggal Dunia

Oleh Karena itu, al-nasf disini diartikan dengan  substansi yang sempurna, tersendiri, mempunyai kekuatan daya ingat, daya pikir, daya simpan, daya mempertimbangkan yang accepted dari berbagai ilmu.

al-Farabi dan Ibnu Sina juga berbicara dalam konteks substansi al-nasf. Mereka berdua mengatakan al-nasf memiliki 3 kategori jiwa, yaitu jiwa nabatiyyat sebagai kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari dimensi makan, tumbuh dan melahirkan jenisnya.

Syamsul Rijal mengatakan, yang kedua yaitu jiwa hayawanniyat sebagai kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi mengetahui hal-hal yang kecil yang bergerak melalui iradah.

Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah

Selanjutnya, jiwa insanniyah sebagai kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi melakukan perbuatan dengan menggunakan ikhtiar akali serta instimbath dengan pikiran demikian juga dari segi mengetahui hal-hal yang umum.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Syamsul Rijal menyebutkan, Ghazali mengatakan untuk mencapai kebahagiaan akhirat, manusia tidak perlu mengabaikan kebahagiaan duniawi. Orientasi keakhiratan, tidak harus membuat manusia meniadakan duniawi. Karena fasilitas dunia, merupakan bagian dari jalan panjang menuju pencapaian target mencapai akhirat yang hakiki.

Artikel SebelumnyaKetua KPK Sebut Aceh Bisa Jadi Contoh Antikorupsi Nasional
Artikel SelanjutnyaTerbang ke Helsinki, Wali Nanggroe Hadiri Pemakaman Martti Ahtisaari
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here