Ada jarak antara saya dengan 4 Desember. Jarak yang membuat saya mengalami hentakan psikologis ketika awal mula menjadi mahasiswa IAIN Ar-Raniry. Saat itu adalah tahun-tahun Aceh kembali bergejolak hebat setelah Suharto jatuh. Kejatuhan yang membuka ruang demokrasi yang lebih luas secara nasional. Khusus untuk Aceh, kejatuhan Suharto merupakan peristiwa penting untuk melanjutkan sesuatu yang sudah dimulai dua dekade silam: pemberontakan.
Di IAIN, saya yang datang dari kota urban Banda Aceh tidak bisa memahami mengapa teman-teman seangkatan mengangumi nama-nama yang asing di telinga, seperti Abdullah Syafii, Ishak Daud, Abu Arafah, dan deretan lainnya.
Bukannya saya tidak mengetahui nama-nama itu. Sebab sedari SMA, saya juga ikut secara perlahan gerakan protes yang didorong oleh kelompok pelajar, seperti KAPA dan SPUR. Ketidakpahaman saya itu lebih disebabkan karena ada jarak psikologis tadi itu.
Baca: Pidato Milad GAM di Blang Padang, Wali Sebut Aceh Bangsa yang Kuat
Sebagai orang Banda Aceh, saya tidak pernah mengalami apa yang disaksikan oleh seorang teman ketika dia tumbuh remaja: mayat tak dikenal yang tergeletak di sawah dan pinggir jalan. Karena pengalaman itulah, orasi saya di tengah lapangan Blang Padang dalam agenda referendum pelajar Aceh, tidak mendapatkan bobot yang sama dengan teman tersebut yang berhasil menjabat tangan Muhammad Nazar, Ketua Presidium SIRA, saat pelajar di Kabupaten Pidie melaksanakan aksi politik.
Jarak tersebut belakangan agak mendekat ketika hampir dua dekade ini saya memfokuskan studi pada perubahan sosial Aceh sejak abad ke-20. Rentang waktu, yang hemat saya, penting untuk mendalami tidak hanya pikiran, tetapi juga pilihan aksi politik dan orientasi kebudayaan yang terus saja berubah di setiap titiimangsa.
Apa yang saya pahami sebagai jarak ternyata tidak hanya cukup diatasi dengan melakukan studi yang intensif, karena yang berjarak itu bukanlah pengetahuan, melainkan kesadaran batiniah. Dari titik inilah tulisan ini bermula.
***
Lima tahun setelah Sukarno jatuh dari tampuk kekuasaan, Aceh menata ulang cara berbicara dengan Jakarta. Suharto bukanlah Sukarno. Dia tidak terlibat sama sekali dalam penyelesaian Peristiwa Aceh Darul Islam. Tidak seperti Sukarno, Suharto tidak memiliki beban etis untuk memberi keluasaan untuk Aceh untuk melakukan apa yang diinginkan, terutama tentang pembangunan identitas Islam.
Menata ulang komunikasi dengan Jakarta itu yang dilakukan dengan baik oleh Muzakkir Walad dengan tidak lagi menjadikan obsesi formalisasi Islam sebagai jalan satu-satunya pembangunan Aceh. Situasi yang hampir serupa juga dirasakan oleh intelektual muda di Jakarta, Nurcholish Madjid, yang melakukan reorientasi pemikiran Umat Islam Indonesia dengan membaca ulang keberadaan partai politik Islam sebagai satu-satunya alat perjuangan.
Menepikan obsesi formalisasi Islam sejak dimulainya rezim teknokrat Orde Baru telah menjadikan ekspresi Islam politik di Aceh berada dalam dua ruang: kasak-kusuk dan melawan Golkar.
Kasak-kusuk berada di Masjid Baitul ‘Ala lil Mujahidin, tempat Daud Daud Beureueh berdiam setelah turun dari Mardhatillah. Sedangkan melawan Golkar ditunjukkan dengan memilih PPP tanpa syarat.
Peminggiran ekspresi Islam politik di Aceh ini coba dielaborasi dengan penguatan budaya Islam pelembagaan Islam di IAIN Ar-Raniry, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, dan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh. Pelembagaan ini tentunya sesuai dengan agenda developmentalismenya Orde Baru yang mensyaratkan absennya ideologi politik — dalam kasus Aceh adalah ideologi Islam — demi stabilitas keamanan dan pembangunan ekonomi.
Agenda yang sepertinya akan berjalan dengan baik, sampai akhirnya Hasan Tiro kembali dari Amerika Serikat untuk memproklamasikan pemberontakannya pada 4 Desember 1976 di rimba Gunung Halimon, Pidie. Pemberontakan terhadap Jakarta yang kali kedua. Pemberontakan yang dideklarasikan 4 Desember diniatkan untuk membebaskan Aceh dari, apa yang sering disebut olehnya, “Kolonialisme Indonesia-Jawa.”
***
Pemberontakan itu akhirnya tidak berhasil, kalau yang menjadi ukurannya adalah terwujudnya cita-cita tertinggi Hasan Tiro: melepaskan teritorial Aceh dari Indonesia. Tujuan itu gagal setelah seorang bule berdiri mengapit Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud untuk menandatangani nota perdamaian. Akan tetapi, pemberontakan Hasan Tiro dianggap berhasil jika ukurannya cara orang Aceh memahami dirinya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan beragam ekspresi, tidak hanya dalam wujud partai lokal, tetapi juga penggunaan frasa, “Bansa Aceh,” yang sudah menjadi jamak. Perhatikan saja salah satu lirik Hymne Aceh, Aceh Mulia, “Beusapeu pakat beusaboh nyoe meuneumat, Syari’at Islam keu hukom bansa.”
Frasa “Bansa Aceh” tidak dikenal sebelum Hasan Tiro menggelorakan pemberontakan pada 4 Desember. Sebelumnya, Aceh ditabalkan sebagai “Daerah,” seperti lagu yang sangat dikenal, “Daerah Aceh tanoh lon sayang…”
Persoalannya kemudian muncul, upaya membangun identitas diri seperti yang diinginkan oleh Hasan Tiro mengalami degradasi ketika Aceh memasuki masa damai. Acehisasi yang terjadi pascadamai malah menimbulkan ketegangan antar etnik. Rupanya demokrasi lokal di Aceh membangunkan kesadaran subetnik yang lebih kecil lagi di teritori Provinsi Aceh. Hal yang sepertinya tidak pernah dibayangkan oleh Hasan Tiro.
Kemudian, apa yang disebut sebagai jarak kini bukanlah menjadi urusan saya secara pribadi. Jarak antara lampau dan datang, sepertinya telah menjadi labirin baru dalam kehidupan sejarah di Aceh. Labirin yang sepertinya datang setiap waktu, seperti memutar arah jarum jam.