Cristian Snouck Hurgronje merupakan salah satu orientalis paling masyur di Aceh dan Indonesia. Saran-sarannya untuk Pemerintah Hindia Belanda, membuat dirinya dibenci oleh kaum nasionalisme. Tapi ia merupakan sosok penting dalam pembangunan wacana Islam modern di Nusantara.
Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV-Jakarta) Marrik Bellen, Rabu (14/5/2024) hadir ke Auditorium UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ia membuka wacana tentang Cristian Snouck Hurgronje pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa (Diklatpim) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
Diklatpim Mahasiswa UIN Ar-Raniry kali ini, memberi ruang khusus untuk Snouck. Pembahasan tentang sang orientalis disediakan waktu khusus dalam tajuk :Admired And Despised: The Life & Work of Snouck Hurgronje –bentuknya seminar dan pameran foto.
Baca: Sisi Lain Cristian Snouck Hurgronje
Dalam pidatonya di hadapan intelektual UIN Ar-Raniry dan peserta pelatihan, Marrik menjelaskan bahwa Snouck Hurgronje merupakan sosok yang dikagumi sekaligus dicela.
Orientalis kelahiran 8 Februari 1857 di Oosterhout, Belanda, merupakan intelektual yang mendirikan Islam modern di Hindia Belanda. Tapi dia juga dianggap sebagai mata-mata, yang mengumpulkan informasi untuk Pemerintah Belanda, sehingga Hindia Belanda tetap bisa menguasai Nusantara, khususnya Aceh.
Snouck Hurgronje merupakan lulusan Universitas Leiden. Ia lulus doktoral dengan prediket cumlaude pada tahun 1880. Disertasinya tidak tanggung-tanggung, bertajuk Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah). Untuk menulis disertasi, dia berkunjung dan tinggal di Mekkah.
Disertasi tersebut langsung menjadi buku paling laris kala itu. Belum ada karya ilmiah yang menulis tentang Kota Mekkah saat itu. Keingintahuan publik terhadap apa yang dialami Snouck selama di Mekkah, apa yang ia lihat, dan bagaimana Islam di Mekkah, membuat bukunya laris manis.
Tatkala kemudian berangkat ke Hindia Belanda, dia ditugaskan di Bogor sebagai Language Officer and Research of Islamic Education. Pada tahun 1891 -1892 Snouck berangkat ke Aceh. di Serambi Mekkah tugasnya untuk mengumpulkan informasi sehingga bisa menasihati Pemerintah Kolonial Belanda. Ia mempelajari bagaimana Islam di Aceh, seperti apa perannya dalam politik dan nasionalisme. Selesai meneliti ia kembali ke Jawa. Tahun 1906 dia pulang ke Belanda, kemudian menjadi Guru Besar Bidang Bahasa Arab. Selanjutnya menjadi Rektor Universitas Leiden pada tahun 1921-1922.
Baca: Gerhana Kebudayaan Aceh
Kuliah terakhir yang ia berikan kepada mahasiswa terjadi pada tahun 1927. Intelektual tersebut meninggal dunia pada 26 Juni 1936 di Leiden. Dia dikuburkan di Cemetery Groenesteeg, Leiden, Belanda.
Marrik mengatakan Snouck meninggalkan banyak dokumen dan arsip penting. Kebanyakan surat dan sekarang sudah dapat diunduh secara online. Siapa saja dapat mengaksesnya selama ia terhubung dengan internet.
Hanya Mendengar Nama Snouck Hurgronje
Rektor UIN Ar-Raniry Profesor Mujiburrahman, dalam sambutannya pada acara tersebut mengatakan seminar tentang Snouck Hurgronje digelar dalam Diklatpim Mahasiswa UIN Ar-Raniry, karena pihaknya meyakini bahwa banyak mahasiswa yang sekadar mendengar nama Snouck. Mereka tidak mengenalnya secara lebih lengkap.
“Banyak mahasiswa UIN [Ar-Raniry] hanya mendengar tentang sejarah Snouck, tanpa memahami secara detail [tentangnya]. Mudah-mudahan dengan pameran foto karya Snouck, dan juga kuliah umum ini dapat memberikan pengetahuan tentang Snouck,” sebutnya.
Profesor Mujiburrahman menerangkan, ketika mencermati sejarah dan ketokohan Snouck Hurgronje, maka didapatilah sebuah fakta bahwa dalam usianya yang tua, sampai 79 tahun, ia tetap produktif menulis, mengamati, dan mengolah informasi menjadi catatan penting. Ia rajin mencatatkan apa saja yang dia temui dalam setiap lawatannya di mana saja.
Awalnya Cristian Snouck merupakan seorang ilmuan murni. Kemudian ia beralih menjadi saintis imperalis, sehingga dalam konteks ini menjadikan sosok Snouck dianggap sangat kontroversial. Dia dinilai antagonis.
“Pada satu sisi dia ilmuan murni, dan pada satu sisi dia bekerja untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda,dan dalam bahasa kita mungkin disebut saintis imperalis,ilmuwan untuk kepentingan penjajahan yang berkerja di Aceh,” kata Mujiburrahman.
Guru Besar UIN Ar-Raniry tersebut mengatakan mahasiswa Ar-Raniry harus mengenal siapa orientalis tersebut. Sebagai seorang ilmuan, Snouck telah menggemparkan dunia. Dia selalu menarik, bahkan hingga ia telah tiada. Ia memiliki kelebihan; seorang ilmuan besar.
Hal penting lainnya yang harus dipahami oleh mahasiswa, tatkala Snouck berkunjung ke Aceh, negeri ini masih sebuah negara. bukan provinsi seperti saat ini.
Lalu mengapa dia datang ke Aceh? Karena pihak Belanda merasa frustasi dengan semakin banyaknya kemunculan Aceh Morden (Aceh Pungo). Belanda frustasi ketika ingin menaklukkan Aceh, tapi tak kunjung dapat melakukannya. Mereka terkurung dalam kamp konsentrasi.
Snouck datang, ia mempelajari sosial dan keagamaan masyarakat Aceh. Dengan sangat teliti dirinya meneliti tentang budaya, agama, dan sebagainya. Dia mencari benang merah antara kebudayaan, agama Islam, dan hubungannya dengan energi perlawanan yang tak kunjung padam.
Snouck meneliti mengapa Belanda masih saja tetap kalah, padahal dibekali dengan peralatan tempur modern. Semua fasilitas tempur modern tidak sangat membantu upaya okupasi terhadap Aceh.
Mujib mengatakan, bukan hanya Belanda di masa lalu yang frustasi terhadap Aceh. Bahkan hingga cucu-cucu mereka yang berkunjung ke Kherkhof Peucut di Banda Aceh, juga masih tak percaya. Mereka heran dengan kuburan serdadu yang begitu banyak nisan. Tatkala mereka membaca nama kakek atau buyutnya di situ, mereka seolah tak percaya mengapa mereka bisa gugur di Aceh?
“Mereka marah-marah, karena di seluruh Nusantara, hanya di Aceh kuburan mereka paling banyak,” kata sang Guru Besar.
Bahkan, sampai saat ini Pemerintah Belanda masih terus mengirimkan biaya perawatan kompleks Kerkhof Peucut di belakang Museum Tsunami Aceh.
Sampai saat ini sosok Cristian Snouck Hurgronje masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Aceh. Sebagian mengatakan sang ilmuan merupakan seorang muslim. Ada yang menolaknya. Ada yang mengatakan ia seorang ulama, ada yang menolaknya.
Termasuk dalam biografi Snouck yang tahun lalu yang di-launching di Perpustakaan Nasional, ditulis oleh Wim van den Doel dengan judul Snouck: het volkomen geleerdenleven van Christiaan Snouck Hurgronje.Di situ dijelaskan bahwa Snouck ilmuan murni, yang mempelajari sejarah Islam. Meski demikian tidak ada kaitannya dengan konteks pribadinya sebagai muslim.