Mujiburrahman sedang dan terus berbuat untuk membangun UIN Ar-Raniry, Bana Aceh. Gagasannya sangat menarik, dan semoga mampu menakhodai bahtera Ar-Raniry hingga mencapai pelabuhan idaman.
Senin (31/7/2023) niat awal ingin menjumpai seorang teman di ruang Auditorium Ali Hasyimi, UIN Ar-Raniry, malah terjebak pada acara 1 tahun capaian kinerja Rektor UIN Ar-Raniry yang sedang berlangsung di tempat tersebut. Protokolernya lumayan ketat, cuma karena keperluan sebentar, diizinkan oleh sekuriti. Namun, Karena perasaan tidak enak keluar masuk di tengah audien sekitar 100an lebih itu, saya sempatkan menyimak acara hingga selesai.
Diawali pembacaan al-Quran, menyanyikan himne, sambutan Rektor UIN dan USK, dan launching buku capaian 1 tahun kinerja Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Mujiburrahman, sebagai acara puncak. Secara keseluruhan kegiatannya terasa dikemas dengan sempurna. Sepertinya panitia cukup siap menyajikan konsep acara hingga dokumentasi. Visualisasi digital tidak cilet-cilet, sekelas editor profesional. Musik-musik pengiring dalam video capaian kerja pun mengisyaratkan sebuah optimisme. Diuntungkan lagi, layar trone super lebar didinding panggung utama, membuat mata terasa lega seperti menonton bioskop.
Baca: Kilau Cahaya Mujiburrahman untuk UIN Ar-Raniry
Namun menariknya, saya selalu menanti awal dari sambutan Prof. Mujiburrahman ketika mengucapkan, “Assalamu’alaika ya Rasulallah, Assalamu’alaika ya Habiballah.” Jantung ini terasa berdegup kencang, dan berat. Seperti merasakan kehadiran Nabi dalam ruangan tersebut. Kondisi jiwa berubah menjadi ‘melo’, ibarat Majnun yang merindukan Layla. Nalarpun seketika tidak mampu dikontrol, hingga hilang fokus pada lanjutan kata-kata yang Prof. Mujiburrahman ucapkan setelahnya.
Saya perhatikan, memang bukan sekali saja ucapan salam takzim beliau kepada Nabi. Nyaris setiap kegiatan, ketika ia memberi sambutan, kalimat tersebut selalu mengiringi. Hingga orang pasti mengenal ciri khas Prof. Mujiburrahman memberi sambutan. Tampaknya, kata itu sebagai ‘mantra’ yang membuat dirinya cukup punya power dan kharismatik ketika berbicara di hadapan publik.
Kata-katanya lugas, tegas dan tidak bertele-tele. Retorikanya mengalir dengan intonasi penuh semangat. Memang seorang pemimpin harusnya memiliki sikap demikian. Sedikit bicara, namun ketika berbicara, seperti orator di depan penguasa. Percaya diri, dan meyakini setiap narasi yang keluar dari lisannya.
Pemimpin otoriter, biasanya dikenal dengan kebijakannya yang egois, dan membuat sekat secara struktural antara atasan dam bawahan. Tetapi, prof. Mujiburrahman (saya baca dari buku yang dipinjamkan sebentar oleh Dr. Rahmad Syah Putra, selaku panitia acara tersebut) sedang fokus membangun kepemimpinan yang sinergis, kalaboratif, dan inovatif.
Salah satu sisi kalaboratif, bahwa sikapnya cukup open minded atas aspirasi mahasiswa. Terbukti, ia sampaikan di hadapan dosen dan civitas akademika di acara tersebut, bahwa ia tidak menutup mata terhadap kondisi akademik mahasiswa, terutama dalam hal tugas akhir mereka. Ia melihat realita di lapangan ada etos kerja dosen yang perlu perbaikan secara kultural untuk membantu kuliah mahasiswa, dan menurutnya, kondisi itu ke depan harus diperbaiki.
Kebijakan strategis lainnya yang cukup menguntungkan mahasiswa, yaitu ke depan mahasiwa tak harus menulis skripsi sebagai syarat kelulusan. Bisa digantikan dengan tulisan jurnal demgan syarat tertentu di semester 3-4, dan semester 7 dianggap selesai S1, langsung mengikuti wisuda. Wow, sebuah reformasi akademis dilakukan oleh seorang Rektor.
Bukan Milik Prof. Mujiburrahman
Berbagai capaian dan tantangan kinerja 1 tahun telah disampaikan, hingga Rektor USK, Prof. Ir. Marwan, dalam sambutannya mengapresiasi capaian kinerja Prof. Mujiburrahman, dan mengajak UIN, USK dan kampus lainnya untuk terus bersinergi membangun pendidikan Aceh. Sungguh sebuah ajakan yang mulia.
Tetapi benak saya masih muncul pertanyaan, kampus ini milik siapa? Kalau secara kelembagaan jelas milik negara, tetapi secara identitas sebagai bagian dari keluarga besar UIN, dari elemen mahasiswa, dosen, karyawan, sampai alumni, bukankah bagian dari sejarah kehidupan mereka? tampaknya terlalu pragmatis, jika menganggapnya sebagai halte, tempat singgah sejenak sebagai transit perjalanan. Saat perjalanan panjang telah sampai, ia dibuang begitu saja dari pikiran. Ya, Jika tidak mampu mencintai, setidaknya cukup merasa memiliki, sehingga kita peduli pada almamater biru yang dibanggakan masyarakat Aceh ini.
Do’apun mengakhiri acara seremoni tepat jam 10.20 WIB dan secangkir kopi menunggu di warkop Dekmi yang menjadi persinggahan terbaik lintas identitas dan profesi. Kata orang tua dulu, “jep kupi yak bek pungo,” (minum kopi, agar tidak gila).